Pertanyaan di atas kembali terngiang di hatiku sebab aku merasa ada yang salah dalam ucapanku. Seakan-akan 'keangkuhan' keluar secara liar dari mulutku.
Ehh......
Tiba-tiba, aku nemuin solusinya yaitu,
PUASA BERKATA-KATA
Hanya saja, aturan apa yang harus kuperbuat atasnya? Bagaimana aku mengetahui bahwa 'aku sedang berpuasa berkata-kata'?
Aku tidak tahu jawabannya. Aku akan coba mencarinya di Google, dengan keyword
"Puasa berbicara dalam Alkitab"
serta
"Apa esensi utama dari puasa berbicara?"
Sebab aku berkata dalam hatiku,
Menahan untuk berbagi tentang rasa senang maupun rasa kesedihan melalui ucapan yang keluar dari mulutku.
Tapi tidak dengan ungkapan yang kubagi melalui jari jemariku. Sebab, aku percaya ungkapan yang dikeluarkan jari jemariku lebih menampakkan rasa rendah hati (jika dibandingkan dengan yang keluar dari mulutku).
Jadi, bagaimana cara terbaik saya untuk berbagi rasa bahagia saya? Bukankah adalah hal baik untuk berbagi rasa bahagia kepada orang lain?
Aku dapat jawabannya.
Biarkan orang lain menilai, biarkan mereka yang merasakan.
Apakah ia merasakannya atau tidak?
Itu bukanlah urusan mulutku.
- tapi hatiku memang merasa sedikit tersiksa -
Kendati demikian, aku harus tetap tersenyum.
;)