Temanku Rico Simatupang cerita pada kami (aku & Clinton) bahwa ia dan pacarnya lagi break.
"Break? Bukankah break berarti putus?" Aku berpikir demikian. Lalu kataku pada Rico bahwa aku nggak percaya.
Rico pun nerangin kejadiannya samaku. Ia berkata bahwasanya pacarnya merasa direndahkan oleh chattingan yg Rico kirim padanya.
Sebenarnya, isinya hanya ini doank.
"Nggak puas pun aku kau buat."
(Acara ulang tahun Rico, jalan2 berdua)
Tiba2, pacar Rico ngebales gini....
"Yang kau pikirnya aku wanita sampah .... bla bla bla....."
Setelah Rico nerangin agak panjang, aku merespon dalam hatiku, "kok bisa gitu ya tanggapannya?"
"Nggak kau buat ya emoticon Pra?", tanyaku.
"Nggak Pra.", jawab Rico.
Pantesan lah pikirku. Dari sini aku belajar bahwa betapa pentingnya ternyata intonasi.
Intonasi dalam ber-chatting disubstitusi pake emoticon. Beda intonasi, beda makna. Bedanya pun sangat signifikan.
Karenanya, dalam berchattingan di kemudian hari, aku harus make emoticon bila menurutku suatu chat memiliki makna ganda apalagi kalo chat itu kayak bernada marah, kalo tidak, bisa berabe (bila chat ama orang yg nggak kompak ama kita).
;)